Senin pagi, 22 April 571, seorang bayi laki-laki lahir di Mekkah. Kelahirannya ditandai dengan jatuhnya balkon istana Kisra, padamnya api-api sembahan suku Majusi, runtuhnya gereja-gereja di sekitar Bahira, dan adanya cahaya terang yang menyinari istana-istana di Syam.
Aminah mengatakan, “Setelah bayiku lahir, aku melihat ada cahaya yang keluar dari kemaluanku dan menyinari istana-istana di Syam.”
Aminah mengutus seseorang untuk menyampaikan kabar gembira ini kepada ayahnya, Abdul Muththalib. Ayahnya pun segera datang dengan perasaan suka cita untuk melihat cucunya. Dia kemudian menggendongnya dan membawanya masuk ke dalam Ka’bah. Di dalam Ka’bah, dia memberi nama Muhammad kepada cucunya, sebuah nama yang belum pernah ada yang memiliki sebelumnya.
Wanita pertama yang mengasuh dan menyusui Muhammad adalah Tsuwaibah dan kemudian Halimah. Halimah menceritakan bahwa banyak keberkahan yang dia peroleh saat bersama Muhammad.
Pada saat Halimah pertama kali menerima dan menggendong Muhammad, dia seperti tidak merasakan beban apa-apa. Dia pun menuju keledainya dan membawa pergi Muhammad. Keledainya yang telah berjalan cukup jauh terlihat sangat kuat dan perkasa, tanpa lelah sedikit pun.
Setiba di rumahnya, di daerah Bani Sa’d. Halimah melihat bahwa tanah di tempatnya tumbuh dengan sangat subur; domba-domba peliharaannya pun terlihat sangat kenyang dan sehat. Sangat berbeda dengan domba-domba peliharaan tetangganya.
Di bawah asuhan Halimah, Muhammad tumbuh dengan baik. Bahkan di umur dua tahun, pertumbuhannya sangat pesat dibandingkan anak-anak yang lain. Hingga pada saat umur empat tahun terjadi peristiwa besar.
Pada saat Muhammad sedang bermain bersama teman-temannya, Malaikat Jibril datang dan memegangnya. Jibril kemudian menelengtangkannya dan membelah dadanya. Hati (segumpal darah) dikeluarkan dari dadanya. Jibril mengatakan, “Ini adalah bagian setan yang ada pada dirimu.” Jibril mencuci hati (gumpalan darah) itu dengan air zamzam dalam baskom emas. Setelah dicuci, Jibril memasukkan dan menatanya kembali ke tempat semula.
Teman-teman Muhammad berlarian dan berteriak, “Muhammad telah dibunuh!” Para ibu pun, dengan perasaan panik, datang menghampiri Muhammad. Dan mereka menemukan Muhammad dalam keadaan baik dan bahkan dengan wajah yang semakin berseri.
Setelah peritiwa itu, Halimah menjadi takut. Dia pun mengambil keputusan untuk mengembalikan Muhammad ke pangkuan ibu kandungnya, Aminah. Muhammad pun hidup bersama Aminah.
Suatu ketika, Aminah merasa perlu mengenang suaminya, Abdullah. Dia pun pergi dari Mekkah untuk menziarahi kuburan suaminya di Madinah bersama Muhammad dan pembantu wanitanya, Ummu Aiman. Mereka menetap di Madinah selama satu bulan.
Dalam perjalanan pulang dari Madinah ke Mekkah, Aminah jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Dia meninggal dunia di Abwa’, daerah antara Madinah dan Mekkah.
Sepeninggal ibunya, Muhammad diasuh oleh kakeknya, Abdul Muththalib. Muhammad diasuh dengan penuh kasih sayang oleh kakeknya. Bahkan, Abdul Muththalib lebih mengutamakan Muhammad daripada anak-anaknya sendiri.
Pada saat Muhammad berusia delapan tahun, Abdul Muththalib meninggal dunia. Sebelum meninggal, dia menitipkan pesan bahwa pengasuhan Muhammad diserahkan kepada pamannya, Abu Thalib, yang merupakan saudara kandung dari ayah Muhammad, Abdullah.
Sama seperti Abdul Muththalib, Abu Thalib mengasuh Muhammad dengan penuh kasih sayang. Dia juga lebih mementingkan Muhammad dibandingkan anak-anaknya sendiri. Bahkan Abu Thalib rela menjalin permusuhan demi melindungi Muhammad.
Masa remaja Muhammad banyak dihabiskan dengan bekerja sebagai pengembala kambing. Dari pekerjaan itu, dia memeroleh beberapa imbalan dinar.
Pada saat Muhammad berusia 12 tahun, Abu Thalib mengajaknya pergi berdagang ke Syam, hingga tiba di Bushra. Di tempat ini, keduanya bertemu dengan seorang rahib bernama Bahira. Rahib Bahira menghampiri Muhammad dan memegang tangannya sambil berkata, “Anak ini adalah pemimpin semesta alam. Anak ini akan diutus Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam!”
Abu Thalib bertanya, “Dari mana engkau tahu hal itu?”
Rahib Bahira menjawab, “Sebenarnya sejak kalian tiba di Aqabah, tak ada bebatuan dan pepohonan pun melainkan mereka tunduk bersujud. Mereka tidak sujud melainkan kepada seorang Nabi. Aku bisa mengetahui dari stempel nubuwah yang ada di bagian bawah tulang bahunya, yang menyerupai buah apel. Kami juga bisa mendapati tanda itu dalam kitab kami.”
0 comments:
Post a Comment